Alm KH Abdullah Salam |
Cerita
ini pernah saya dengar dari orang tua dan kyai saya, almarhum Abah Saudi
Effendi dari Jombang, serta cerita-cerita dari beberapa kyai yang pernah saya
kunjungi.
Dalam cerita itu, Mbah Dullah,
begitulah orang-orang biasa menyapa KH Abdullah Salam Kajen, adalah orang yang
cukup “kaya raya.” Padahal, melihat penampilan dan rumahnya tidaklah “lebih
baik” dari gotakan seperti tempat tinggal santri-santrinya yang sederhana.
Melihat bangunan empat persegi milik
Mbah Dullah ini, mungkin orang menganggapnya miskin, atau minimal tidak kaya.
Tapi jangan salah, setiap minggu sekali, Mbah Dullah selalu menggelar pengajian
yang diikuti ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya disuguhi makan
gratis.
Tradisi Mbah Dullah inilah, yang
kemudian –yang mungkin juga berkaca dari ajaran Mbah Dullah, yang selalu
memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW-- di sekitar awal Tahun 90-an, di
tempat kyai saya (semasa hidup beliau), di Sambong Dukuh, Jombang, tiap
seminggu sekali menggelar istighosa bersama para santri dan juga banyak
dihadiri beberepa jama’ah di luar pesantren, yang semuanya, selain tausiah yang
menyejukkan hati, juga mendapat makan gratis, seperti yang kerap dilakukan Mbah
Dullah.
Selain pengajian-pengajian itu,
setiap hari Mbah Dullah juga menerima tamu dari berbagai kalangan yang
rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan
keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik
dan minyakpun beliau terima dan ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
Ketika beliau masih menjadi pengurus (syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul Masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang.
Ketika beliau masih menjadi pengurus (syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul Masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang.
Dalam sebuah catatan Gus Mus (KH
Mustofa Bisri) yang pernah saya baca, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth
Thalibin, Rembang dan Mantan Rais PBNU ini bercerita: Pada saat pembukaan
Muktamar NU ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul Kyai Syahid
Kemadu— untuk membuka muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan
beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang,
semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin Khataman Qur’an, menikahkan orang, memimpin doa dan sebagainya. Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acara di rumah beliau. Bahkan, beliau pernah menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah di gubuknya yang kecil.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin Khataman Qur’an, menikahkan orang, memimpin doa dan sebagainya. Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acara di rumah beliau. Bahkan, beliau pernah menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah di gubuknya yang kecil.
sumber :
http://andriansportivo.blogspot.com/2011/12/belajar-tasawuf-dan-tafsir-dari.html
No comments:
Post a Comment