Letak Geografis Kecamatan Juwana
Kecamatan Juwana
berada di wilayah Kabupaten Pati dengan luas daerah 7672,70 Ha.
Kecamatan Juwana ini mempunyai 20 desa, yaitu: Desa Agung Mulyo, Desa Bakaran,
Desa Bajomulyo, Desa Bendar, Desa Trimulyo,
Desa Growong, Desa Doropayung, Desa Gadingrejo, Desa Mintomulyo, Desa Karangrejo, Desa Langgenharjo, Desa
Sejomulyo, Desa Tluyah, Desa Pajekaan, Desa
Margomulyo dan Desa Gencangmulyo. Kecamatan ini berada 12 km dari pusat pemerintahan kabupaten Pati, 87
km dari Semarang. Kecamatan Juwana
mempunyai batas batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah
Utara adalah Kecamatan Wedarijaksa
b. Sebelah
Timur adalah Kecamatan Batangan
c. Sebelah
Selatan adalah Kecamatan Jakenan
d. Sebelah
Barat adalah Kecamatan Pati
sumber
: ayokepati.wordpress.com
Dalam penelusuran sejarah daerah kita sendiri
terkadang kesulitan, karena tiadanya dokumentasi yang jelas. Kerja dokumentasi
memang tidak dianggap penting oleh nenek moyang kita, atau memang karena belum
mempunyai pengetahuan soal itu. Sehingga jikalau ingin mengetahui dokumentasi
derah kita, sebagai rekam sejarah zaman dulu perlu pergi ke Belanda. Konon
disana lebih lengkap dokumentasi. Seperti kita ketahui salah satu situs milik
Belanda memuat beberapa foto soal Joana (Juwana:sekarang).
Berikut foto-foto yang termuat dalam situs
milik Nederland
http://www.geheugenvannederland.nl/?/nl/zoekresultaten/pagina/1/joana/%28joana%29/&colcount=0&wst=joana sebagai
salah satu peninggalan sejarah didaerah kita Juwana tercinta :
1. sebuah surat saham perusahaan kereta api
Semarang-Juwana (Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij)
Judul: Sebuah saham Perusahaan Tramway Samarang-Joana (a)
kata Kunci: Eropa, teks, sosial, politik, hukum, Jawa Tengah (lokasi), Indonesia (lokasi)
Verv.jaar: 1899
teknik: kertas
obyek: saham
Ukuran: 17 x 24 cm (6 11/16 x 9 7/16 masuk)
Sumber: 5553-1a (saham, obligasi), Pameran Dunia Kolonial, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum
Copyright: Untuk informasi: Royal Tropical Institute / Tropenmuseum
Catatan: Dari: Koleksi materi budaya
Dokumen ini terdiri dari tiga bagian: Proporsi (a) Selembar dengan kupon (b) Pernyataan (c).
2. Sebuah kereta uap untuk
kantor pusat Perusahaan Tramway Semarang-Joana
Judul: Sebuah kereta uap untuk kantor pusat Perusahaan Tramway Semarang-Joana
Author:
fotografer: Photographisch Atelier Kurkdjian
kata Kunci: Semarang (budaya) transportasi oleh manusia / mekanik
Verv.jaar: ca 1.915 Verv.plaats: Semarang, Indonesia
teknik:
Bahan: Kertas
obyek: foto
Sumber: [A20-299] Kern Fotografi Koleksi, Museum of Ethnology
Copyright: Untuk informasi lebih lanjut: National Museum of Ethnology
3. Portrait of Werono (wedono)
oleh Joana. Difoto dari masyarakat ilmu pengetahuan, eksotis antara 1860
dan 1920 dari Museum of Ethnology
Judul: Portrait of Werono / wedono oleh Joana, Kumpulkan potret Collection India Jawa bangsawan studio potretAuthor:
diketahui kata Kunci: potret Jawa (budaya) status, pangkat dan martabat tanda-tanda, pengidentifikasi
Verv.jaar: 1879
Verv.plaats: Jawa, Indonesia
teknik:
Bahan: kertas, karton
Teknik: albumen print
Mounting: ke kartu
obyek: foto
Ukuran: Medium: 12,7 x 8,4 cm - Picture: 11,4 × 7,6 cm
Sumber: [A360-1], Kern Fotografi Koleksi, Museum of Ethnology
Copyright: Untuk informasi lebih lanjut: National Museum of Ethnology
4. Potret Raden Ayu Wurno oleh
Joana, Difoto dari masyarakat ilmu pengetahuan, eksotis antara 1860 dan
1920 dari Museum of Ethnology
Author:
Diketahui Kata Kunci: potret Jawa (budaya) status, pangkat dan martabat tanda-tanda, pengidentifikasi
Verv.jaar: 1879
Verv.plaats: Jawa, Indonesia
Bahan: kertas, karton
Teknik: albumen print
Mounting: ke kartu
Obyek: foto
Ukuran: Medium: 12,8 × 8,4 cm - Picture: 11,3 × 7,9 cm
Sumber: [A360-2], Kern Fotografi Koleksi, Museum of Ethnology
Copyright: Untuk informasi lebih lanjut: National Museum of Ethnology
Keterangan foto : Bahasa asli adalah bahasa Belanda diterjemahkan versi google translate.
sumber : http://juwana.net/events.php
PETA WISATA VERSI MAJALAH NATIONAL GEORAPHYC TRAVELLER
Media
cetak bertaraf internasional majalah National Geographyc Travelle pernah
meliput kota kecil yang ada di kabupaten Pati ini, yakni Juwana.
Majalah ini tertarik menguak Juwana lantaran kota kecil yang punya
peradaban tua, dan sejarah yang lama, juga terdapat industri kerajinan
yang sudah menasional. Di Majalah ini ditulis hampir 4 halaman dengan
judul "Jangan Lupakan Juwana". Judul ini memberikan pesan bahwa masih
ada daerah yang patut dikunjungi oleh para pegiat wisata di kota ini.
Karena banyak terdapat potensi budaya, sejarah, dan industri. Disamping
itu Juwana yang sampai pada saat ini masih menjadi pusat perdagangan
nasional, dan perikananya terbaik di Indonesia.
Majalah
ini melampirkan juga Peta wisata disertahi nama desanya. "Peta wisata
kriya dan sejara Juwana, sebuah destinasi alternatip bagi anda pecinta
budaya, penikmat keriuhan pelabuhan, sampai pemerhati tradisi leluhur.
Mari berkeliling kota melongok potensi kota ini", judul peta majalah
yang dirilis pada September 2011.
sumber : http://juwana.net/events.php
MELIHAT DEKAT NELAYAN BENDAR (PERCONTOHAN NELAYAN NASIONAL)
Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan yang
punya ketertarikan dan perhatian khusus dengan laut, mengajak saya main ke
salah satu daerah pesisir di Jawa Tengah. Tepatnya di desa Bendar, Kecamatan
Juwana, Kabupaten Pati.
Meski
daerah tersebut tak begitu jauh dari rumah saya, tapi tak pernah sekalipun saya
pergi ke sana. Kecuali hanya melintas ketika hendak pergi ke Semarang. Ajakan
kawanku itu pun segara saya iyakan. “Ok, siap Pek,” kataku dalam sebuah pesan
singkat.
Saat itu saya tak bertanya mengapa kawanku
itu mengajak saya main ke Juwana. Pikir saya, kawanku itu mungkin hanya sebatas
jalan-jalan sambil motret. Maklum, kawanku ini punya hobi fotografi.
Dugaan
saya ternyata meleset. Sebelum berangkat, saya iseng bertanya perihal itu.
“Kamu saya ajak main ke Juwana supaya kamu tahu bagaimana kondisi nelayan di
sana,” jawabnya singkat. Setelah ia mengatakan seperti itu, saya tiba-tiba
menjadi penasaran. Akhirnya selama hampir dua jam perjalanan di bus jurusan
Surabaya-Semarang, saya gunakan untuk menginterview-nya. Bak seorang wartawan
investigasi, saya mencoba menggali segala informasi darinya.
Tak
berselang lama kemudian, kawanku yang juga kontributor majalah Travelling
National Geographic (NG) Indonesia untuk wilayah Jawa Timur ini membeberkan
beberapa informasi yang belum saya ketahui. Usut punya usut, ternyata
sebelumnya dia sudah pernah ke Juwana. Katanya, dulu bersama kawan-kawannya ada
assignment liputan Juwana. Dari hasil liputan tersebut, ia kemudian tertarik
untuk mengetahui lebih jauh mengenai Juwana, khususnya masyarakat nelayannya. Setiba
di alun-alun Juwana, kami langsung beranjak menuju ke rumah salah seorang pengusaha
krom. Di sana kami bertemu dengan pemiliknya, yang kebetulan beliaunya adalah
ketua asosiasi pengusaha kecil dan menengah Kabupaten Pati.
Namanya
Anwar Nugroho Jarkoni, akrab dipanggil Pak Nug. Saat kami dolan di
rumahnya, cina muslim Juwani ini bercerita banyak kepada kami mengenai
Juwana. Termasuk soal sejarah dan masyarakat Juwana. Kata pengagum Gus Dur ini,
sebagian besar masyarakat Juwana bermatapencaharian sebagai pengrajin kuningan,
batik, dan nelayan. Karena sejak awal kami ingin mengetahui masyarakat
nelayannya, kami disarankan beliau pergi ke desa Bendar. Desa ini letaknya di
sebelah timur kali Juwana. “Kamu langsung aja pergi ke sana, “ perintah Pak
Nug. Ditemani salah satu pemuda sana, Mas Irham, kami bertiga segera
meluncur ke desa Bendar dengan Bentor.
Sesampai
di desa tersebut, sebelum bertemu salah satu nelayan di sana, saya dibuat kagum
dengan deretan rumah mewah, bertingkat, dan berwarna-warni di sepanjang jalan.
“Iki omah opo istana, kok apik-apik’e ngene,” batinku. Mas Irham yang
memandu kami, tanpa kami tanya, ia berseloroh: “Itu rumah para nelayan Bendar.”
Setelah menempuh kurang lebih 10 menit dari rumah Pak Nug, Bentor kami
berhenti di depan sebuah galangan kapal. Di sana kami dipertemukan oleh Mas
Irham dengan Pak Rahmad, salah satu nelayan Bendar. Umurnya masih muda, sekitar
27 tahunan.
Tidak
seperti nelayan pada umumnya, penampilan Pak Rahmad sama sekali tidak
mencerminkan seorang nelayan: berpakaian apa adanya, kulitnya hitam, kulu-kulu.
Dengan berpakaian kemeja, celana bahan, rambut klimis dan tersisir rapi, ia
menyambut kami dengan ramah. Kami pun segara memperkenalkan diri serta
menjelaskan maksud kedatangan kami.
Sebelum
dipersilahkan masuk ke rumahnya, yang letaknya tidak jauh dari galangan kapal,
kami sempat mengobrol sebentar di sana. Obrolan kami tak jauh dari soal
nelayan. Kawanku terlihat antusias bertanya, demikan dengan Pak Rahmad. Beliau
juga antusias menjawabnya. Sedangkan saya hanya mendengarkan obrolan mereka
sambil mata saya jelalatan melihat para tukang pembuat kapal mecelikayu.
Kenapa
saya acuh? Jawabnya singkat: sebab apa yang diobrolkan hanyalah seputar
kehidupan nelayan pada umumnya yang menurut saya biasa saja. Namun, mendadak
saya menjadi tertarik menyimak obrolan itu ketika Pak Rahmad membicarakan soal
teknologi nelayan. Sebagaimana diketahui, satu hal yang membuat nelayan
kita ini tidak maju-maju adalah resisten alias tidak mau menerima inovasi
teknologi baru. “Sekarang kapal nelayan di sini sudah banyak yang menggunakan
freezer (alat pendingin),” tutur Rahmad.
“Nelayan
di sini sudah tidak lagi dipusingkan dengan es sebagai bahan pengawet ikan.
Mereka sudah menggunakan freezer yang ditaruh di badan kapal. Sehingga ikan
yang didapat bisa langsung dimasukan alat tersebut. Jadi mereka bisa melaut
sampai berbulan-bulan,” tambahnya. Setelah adanya freezer, lanjut Rahmad,
pendapatan para nelayan menjadi meningkat karena kualitas ikan yang ditangkap
sangat bagus dan itu berpengaruh pada harga jual ikan. “Beda ketika masih
menggunaka es, harga ikan bisa jatuh karena kualitas ikannya jelek,” ungkapnya.
Obrolan
itu kemudian dilanjutkan di rumahnya. Dan untuk kedua kalinya, saya dibuat
heran, takjub, dan tak percaya. Setelah melihat interior rumah Pak Rahmad,
rasa-rasanya saya tak percaya kalau ini rumah seorang nelayan. Bagaimana tidak,
di salah satu sudut ruangan, berjejer beberapa alat-alat kebugaran tubuh
seperti yang ada di tempat fitnes. Belum lagi perabotan-perabotan
lainnya.
“Masak
seorang nelayan bisa hidup seperti itu. Apa yang membuat Pak Rahmad dan para
nelayan Bendar bisa demikian? Kenapa nelayan di kampungku tidak bisa seperti
mereka? Apa karena nelayan Bulu tidak punya etos kerja yang tinggi atau karena
nelayan Bulu sudah merasa nyaman dengan kondisinya seperti sekarang ini?” tanyaku
dalam hati. Pertanyaan itu kemudian memacu saya untuk mencari tahu, yakni
dengan bertanya langsung ke Pak Rahmad. Bapak dari satu anak itu pada akhirnya
menjelentrehkan kepada kami. Sambil duduk lesehan di ruang tamu dan memakan
jamuan yang sudah disuguhkan, kami mendengarkan penjelasannya.
“Sebetulnya
semua nelayan bisa seperti nelayan Bendar, asal berani ambil resiko, mau
mengikuti perkembangan teknologi, dan bekerja keras tidak mudah putus asa.
Maksudnya nelayan harus berani melaut sampai berhari-hari mengorbankan
sementara waktu tidak bertemu dengan anak-istri beberapa hari dan bulan. Dan
yang tak kalah penting adalah update teknologi, baik teknologi kapalnya sendiri
atau teknologi penangkapan. Semakin lama teknologi itu berkembang, kalau
nelayan tidak mau mengikuti, mereka akan ketinggalan dengan nelayan yang lain,”
jelasnya. Dari penjelasannya itu, saya semakin yakin, bahwa yang
menyebabkan nelayan Bulu tidak maju (berkembang) dan taraf hidupnya semakin
tidak menentu adalah tidak berani ambil resiko dan resisten terhadap teknologi.
Keyakinan
saya itu beralasan, sebab salama bergaul dengan mereka, ada sebuah jargon yang
diam-diam dan sudah membudaya menjangkiti cara berpikir mereka. Kata mereka
demikian: “daripada miyang ngebok, mending miyang harian, iso nang omah ben
dino ketemu anak bojo. Awak ora rekoso.” Kalimat tersebut, kalau boleh
saya sarikan, bunyinya demikian: “wes ora jaman wong miyang bantalan ombak
lan selimutan angin. Saiki jamane bantalan lan selimutan wong wedok.”
Dan
terkait penggunaan teknologi modern, sudah terbukti hal itu mempengaruhi hasil
tangkapan ikan nelayan. Bandingkan mereka yang menggunakan teknologi radar dan
pendeteksi posisi (global positioning system) dan Galaxy “Setan” dengan yang
tidak menggunakan, hasilnya jelas. Itulah seklumit kisah perjalanan
saya ke Bendar, Juwana. Baik buruknya, bermanfaat atau tidak, tulisan ini saya
kembalikan kepada anda sekalian, yaitu anak-anak Bulu yang masih peduli dengan
nelayan Bulu.
sumber : http://juwana.net/events.php
No comments:
Post a Comment